Kamis, 15 April 2010

Sejarah Kedu Temanggung

Karesidenan Kedu (ditulis pula Kedoe atau Kedoo) adalah satuan administrasi yang berlaku di Jawa Tengah pada masa penjajahan Hindia-Belanda dan beberapa tahun sesudahnya. Saat ini, Karesidenan Kedu telah dihapus namun masih digunakan untuk membantu administrasi pemerintahan provinsi, dengan sebutan Daerah Pembantu Gubernur Wilayah Kedu.

Pusat pemerintahan berada di Magelang. Nama "Kedu" sendiri berasal dari sebuah kecamatan (dulu kawedanan) di Kabupaten Temanggung. Wilayah karesidenan ini mencakup Magelang (kabupaten dan kota), Temanggung, Kabupaten Purworejo (dulu disebut Bagelen), Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Kebumen.

Dalam sejarah, pada abad ke-17 Kedu, sebagai sebuah kadipaten, berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram yang kemudian diserahkan kepada VOC pada abad ke-18 sebagai imbalan atas bantuan VOC membantu Mataram melawan pemberontakan. Semenjak itu, seorang residen (orang Belanda) ditempatkan untuk mengatur wilayah ini. Wilayah Karesidenan Bagelen digabungkan pada masa selanjutnya (1 Agustus 1901), dan cakupan wilayah ini berlaku hingga sekarang.

Daerah Kedu memiliki tanah yang subur dan merupakan daerah pertanian yang maju.

Rabu, 14 April 2010

Sejarah Kota Parakan

Berdasarkan catatan sejarah Nugroho Notosusanto, daerah Parakan ini adalah merupakan sima atau semacam tanah hibah pada masa Mataram Kuno. Beberapa peninggalan berupa prasasti dan candi bisa ditemui di sekitar wilayah Parakan, di antaranya Candi Gondosuli yang berada di sebelah tenggara Parakan.

Pada zaman penjajahan dulu daerah ini terkenal dengan senjata bambu runcing. Di mana para pejuang rakyat saat itu menggunakan bambu runcing. Bambu runcing adalah sebuah tongkat dari bambu berwarna kuning yang bagian ujungnya dibuat runcing, dibuat sebagai senjata yang sederhana namun ampuh setelah diberi doa oleh para kyai untuk melawan penjajahan Jepang sebelum kemerdekaan RI di daerah Kabupaten Temanggung (Jawa Tengah) dan penjajahan Belanda setelah Kemerdekaan (1945 - 1948) di daerah Ambarawa dan wilayah lainnya. Salah satu tokoh penggerak para pejuang pada masa itu adalah KH Subchi (nama aslinya ‘Subuki’) yang dijuluki ‘Jenderal Bambu Runcing’ (sekarang namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan di kampung kauman Parakan), sedangkan tokoh-tokoh yang lain diantaranya Sahid Baidzowi, Ahmad Suwardi, Sumo Gunardo, Kyai Ali, H. Abdurrahman, Istachori Syam'ani Al-Khafidz dan masih banyak lagi yang lain. Parakan juga merupakan tempat lahir tokoh perjuangan nasional Mohamad Roem, yang terkenal sebagai delegasi Indonesia dalam perundingan diplomasi Roem-Roijen.

Dikatakan parakan karena bersemayam kyai yang disebut parak atau perek (kyai parak)kyai parak pertama berasal dari yaman dan yang kedua dari pelarian mataran ketika amangkuratII memerintah dan dalam struktur pemerintahan zaman belanda tidak pernah tercantum kelurahan parakan melankan jetis ,klewogan dan sebagainya namun dalam susunan berikutnya menjadi daerah kawedanan masih banyak yang harus diungkap tentang parakan termasuk perhatian pemerintah hindia belanda dengan parakan karena banyak pelarian tentara diponegoro yang mengungsi di parakan sehingga belanda sengaja menjadikan parakan sebagai pusat candu agar generasi mudanya rusak dan sulit untuk bergolak menentang belanda. Parakan pernah menjadi pusat pemerintahan kabupaten menoreh dengan bupati terakhir krt sumodilogo yang membuat heboh dan meninggal dibunuh oleh tentara diponegaro dimakamkan dikalam jolopo krasak sedang kepalanya di selarong yogyakarta. Dulu parakan memang sebagai kota sorga bagi orang yang berduti ada candu wts dll pemerintah belanda menginginkan kota parakan sebagai tujuan orang untuk berfoya-foya sehingga banyak bursa candu bahkan seperti bah moho yang tinggal di wilayah kauman parakan . Menurut catatan ada beberapa ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bermukim di Temanggung al.Kyai Shuhada dimakamkan di Bayurip Pasuruan Bulu,beliau ayah KH Mansur Banyurip dan kakek dari KH Zaenuddin(alm) mantan kepala desa Banyurip.

Sejarah Kota Temanggung

Menurut beberapa sumber, awal berdirinya kabupaten Temanggung tidak bisa dilepaskan dari sejarah kabupaten Magelang saat itu. Dengan meninggalnya Raden Tumenggung Danuningrat Bupati Magelang, maka untuk mengatasi kevakuman pemerintahan, Pemerintah Hindia Belanda dengan cepat berusaha mencari penggantinya. Mendiang Bupati Magelang meninggalkan seorang putra yang bernama Raden Mas Aryo Danukusumo. Ia telah berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda sebagai Wakil Kolektur Penghasilan Negeri dan telah menikah dengan putri Bupati Pekalongan. Raden Mas Aryo Danukusumo mempunyai dua orang anak. Ia dikenal sebagai pribumi yang sangat berbudi bahasa dan betapapun masih muda usianya, namun telah banyak mengambil alih kecakapan-kecakapan dari orang tuanya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain kecakapan yang dimilikinya, akhirnya Raden Mas Aryo Danukusumo ditunjuk menjadi Bupati sementara daerah Magelang.

Sedangkan untuk daerah Kabupaten Menoreh, Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Nomor 11 Tanggal 7 April 1826, Raden Ngabehi Djojonegoro ditetapkan sebagai Bupati Menoreh yang berkedudukan di Parakan, dengan gelar Raden Tumenggung Aria Djojonegoro. Setelah perang Diponegoro berakhir, beliau kemudian memindahkan ibu kota ke kota Temanggung (saat ini).

Kebijaksanaan pemindahan ini didasarkan pada beberapa hal:
1. Adanya pandangan masyarakat Jawa kebanyakan pada saat itu, bahwa Ibu kota yang pernah diserang dan diduduki musuh dianggap telah ternoda dan perlu ditinggalkan.
2. Distrik Menoreh sebuah daerah sebagai asal nama Kabupaten Menoreh, sudah sejak lama digabung dengan Kabupaten Magelang, sehingga nama Kabupaten Menoreh sudah tidak tepat lagi.
Mengingat hal tersebut, atas dasar usulan Raden Tumenggung Aria Djojonegoro, Residen Kedu saat itu (CC. Kartnan) melalui suratnya tanggal 13 September 1834 mengusulkan untuk mengganti nama Kabupaten Menoreh menjadi Kabupaten Temanggung.kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Permintaan tersebut disetujui oleh pemerintahan hindia belanda bahwa nama Kabupaten Menoreh berubah menjadi Kabupaten Temanggung. Persetujuan ini berbentuk Resolusi Pemerintah Hindia Belanda Nomor 4 Tanggal 10 Nopember 1834 bertepatan pada hari Senin Wage tanggal 9 Rejeb tahun Jumakir 1762 H).
“Menetapkan bahwa Kabupaten Menoreh ( Karesidenan Kedu ) semenjak sekarang akan memakai nama dari nama ibukotanya sendiri yakni Temanggung, bahwa asisten residen Probolinggo dengan pegawai yang diperbantukan kepadanya akan dipindahkan kesana dan pada waktu yang tepat semenjak sekarang akan memakai nama asisten residen Temanggung.”

Berdasarkan hasil seminar tanggal 21 Oktober 1985, yang diikuti oleh Sejarawan, Budayawan dan Tokoh Masyarakat, ABRI, Rokhaniwan, Dinas/Instansi/Lembaga Masyarakat dan lain-lainnya, maka ditetapkan bahwa tanggal 10 Nopember 1834 sebagai Hari Jadi Kabupaten Temanggung. Jadi berdasarkan ketentuan tersebut, tahun ini Temanggung tepatnya tanggal 10 November kemarin, kota kita berulang tahun yang ke- 175. SELAMAT ULANG TAHUN TEMANGGUNG.

Keberadaan Temanggung yang tercatat sebelumnya ada dalam beberapa prasasti dan catatan sejarah, antara lain:
1. Prasasti Wanua Tengah III, yang ditemukan di dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran.
2. Prasasti Siwagrha terjemahan Casparis (1956 - 288), pada tahun 856 M Rakai Pikatan mengundurkan diri.
3. Prasasti Nalanda tahun 860 (Casparis 1956, 289 - 294), Balaputra dewa dikalahkan perang oleh Rakai Pikatan dan Kayu Wangi.
4. Dalam buku karangan I Wayan Badrika halaman 154, Pramudya Wardani kawin dengan Rakai Pikatan dan naik tahta tahun 856 M. Balaputra Dewa dikalahkan oleh Pramudha wardani dibantu Rakai Pikatan (Prasasti Ratu Boko) tahun 856 M.
Cerita lengkap mengenai isi dan hubungan antara prasasti tersebut dengan Temanggung, insyaallah akan kita sampaikan pada waktu yang akan datang.